Selasa, 15 Desember 2009


dhuha

Terhindar Dosa dengan Sholat Dhuha


Semoga Allah selalu memberikan rahmat-Nya pada kita semua, terutama pada beliau yaitu Hadhratus Syaikh Romo KH Asrori Al Ishaqi, seorang guru besar Toriqoh Qodiriyah Wan Naqsyabandiyah yang telah wafat kira-kira pada jam 2.20 pagi tanggal 18 Agustus 2009 kemarin. Beliau merupakan sosok yang patut kita teladani kiprahnya dalam membina akhlaq umat Islam di negeri tercinta ini. Allahu Akbar.

Sedikit akan saya paparkan salah satu ceramah dari Kyai Asrori pada waktu beliau masih hidup, yang mempunyai tema “Terhindar Dari Dosa”.

Cara kita dapat terhindar atau meninggalkan dari dosa insya Allah ada lima cara, yang salah satunya akan saya tuliskan di sini adalah Istiqomah dalam Sholat Dhuha. Ada sebuah pertanyaan, kenapa para Ulama Shufiyyah mempraktekkan pada kita untuk melakukan sholat Dhuha secara istiqomah agar kita terhindar dari dosa ?

Ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim kemudian diriwayatkan Imam Abu Daud dan diriwayat Imam Nasa’i yang maksudnya “setiap pagi dan setiap pergelangan tangan itu harus ada shodaqohnya karna itu semua adalah nikmat dari Allah SWT dan setiap seorang yang membaca Subhanallah itu harus dishodaqohi dan bacaanmu Alhamdulillah itu harus dishodaqohi dan dzikirmu itu harus dishodaqohi dan takbirmu itu juga harus dishodaqohi dan orang yang mengaku mengajak kebaikan juga harus dishodaqohi”. Maksud dari shodaqoh tadi bisa kita artikan mensyukuri.

Melihat dan memahami hadist di atas, maka apakah akan cukup dihadapan Allah jika kita mensyukuri hal tersebut satu persatu ?. Berapapun ucapan Subhanallah, Alhamdulillah, Takbir dan Dzikir yang kita ucapkan maka haruslah kita shodaqohi, maka itu tidak akan mungkin kita lakukan. Tetapi Rasulullan menjawab, “Semuanya itu sempatkanlah dengan dua raka’at sholat Dhuha”.

Untuk semua kebaikan dunia bahkan akhirat, maka sempatkanlah untuk sholat Dhuha.

Kita seringkali merasa bersyukur, tapi sebenarnya syukur yang sering kita lakukan ini adalah untuk keuntungan kita sendiri. Tapi lihatlah do’a dalam sholat Dhuha yang artinya itu lebih baik dari dunia ini. “Ya Allah, jika rizki saya itu di dalam bumi, maka keluarkanlah rizki tersebut” ini merupakan sepenggal arti do’a dalam sholat Dhuha.

Alhamdulillah, marilah kita selalu istiqomah dalam melakukan sholat sunah terutama sholat Dhuha. Gantungkanlah diri kita pada Allah. Semoga Allah selalu memberi rahmat-Nya. Amin.

Minggu, 10 Mei 2009

Rabu, 29 April 2009

KISAH CINTA ZAINAB BINTI RASULULLAH

fatimatul_laila@yahoo.com
29 April 2009
kamis, 21:14 WIB

untukmu wahai hubbul fithroh (R'f)

Dulu di kota Makkah, terdapat seorang pemuda terhormat di kalangan suku Quraisy. Ia terkenal dengan harta kekayaan yang melimpah, mempunyai usaha perniagaan, dan terkenal sebagai pemuda jujur serta memegang amanat. Pemuda itu ialah Abul ‘Ash bin Rabi’. Melihat kemuliaan pemuda ini, kekasih Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Khadijah binti Khuwailid berkeinginan menjodohkan putrinya, Zainab, dengan pemuda ini. Nabi Muhammad pun menyetujui keinginan istrinya tersebut. Apalagi, Abul ‘Ash bukan termasuk orang asing di sisi Nabi. Moyang Abul’ Ash bertemu dengan moyang Nabi pada Abdu Manaf. Demikian pula, garis darah Abul Ash dari jalur ibu bertemu dengan garis darah Zainab dari jalur ibu (Khadijah) pada Khuwailid.

Pernikahan pun dilangsungkan. Di hari yang indah itu, Khadijah memberikan kalung miliknya sebagai hadiah bagi putri terncintanya itu. Maka, Zainab pun berpindah tangan. Ia meninggalkan rumah ibu dan ayahnya menuju naungan dan belaian Abul Ash bin Rabi’ untuk membangun maligai rumah tangga bersamanya. Ketika itu, sesungguhnya Abul Ash belum memeluk Islam. Sementara itu, الله belum mengharamkan pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki kafir.

padang-pasirBahtera pun Mulai Berguncang

Waktu pun terus berlalu, cahaya Islam mulai merasuk di hati penduduk Mekkah.

Namun sungguh sayang, Abul ‘Ash bin Rabi’ masih enggan menerima hidayah Islam yang telah dipeluk istri tercintanya itu. Ia masih belum bisa meninggalkan agama nenek moyangnya yang telah mengakar kuat di hatinya walaupun di sisi hatinya yang lain, ia masih sangat mencintai Zainab dengan kecintaan yang murni.

Zainab, dengan segala keinginan yang kuat, berupaya merayu suaminya agar menerima hidayah Islam. Ia berupaya sebaik mungkin menerangkan agama yang dibawa ayahnya kepada suaminya itu dengan tenang dan penuh pengharapan. Dipilihnya kata-kata yang halus dan wajah yang lembut untuk menarik hati Abul Ash. Ia juga berusaha sekuat mungkin memilih untaian lisan yang indah dan tutur kata yang santun untuk meluluhkan hati sang suami tercinta. mawar-3

Namun, tidaklah ada yang bisa membalik hati manusia selain pencipta manusia itu sendiri, yaitu الله. Zainab sangat bersedih karena laki-laki yang dicintainya itu sama sekali tidak terketuk hatinya. Abul Ash hanya diam, dan tidak menanggapi seruan istrinya dengan jawaban yang memuaskan. Seolah-olah, suara hati sang istri tidaklah demikian penting dan berarti dalam hidupnya.

Ketika permusuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin dengan orang-orang kafir Quraisy semakin memuncak, orang-orang kafir tersebut mendorong para laki-laki yang mempunyai istri mukminah agar menceraikannya. Benarlah, dua belahan hati Nabi kita yang mulia, Ruqayyah dan Ummu Kultsum telah dicerai suaminya, lalu diantarkan ke rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa bahagianya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima kembali kedua putrinya. Justru kekhawatiranlah yang melanda bila keduanya masih hidup bersama laki-laki musyrik.

Kaum kafir Quraisy sebenarnya juga mendorong Abul ‘Ash agar mencerai Zainab. Salah satu di antara mereka mengatakan, “Hai Abul ‘Ash! Cerailah istrimu! Kembalikan dia ke rumah bapaknya! Kami sanggup dan bersedia mengawinkanmu dengan siapa saja yang engkau sukai dari segudang wanita Quraisy yang cantik-cantik!mawar-2

Akan tetapi, ternyata cintanya terlanjur begitu dalam kepada Zainab. Baginya, tidak ada wanita Arab yang mampu menandingi kekasih tercintanya tersebut. Oleh karena itu, Abul ‘Ash menjawab seruan orang kafir tadi, “Tidak! Aku tidak akan mencerainya. Aku tidak akan menggantinya dengan wanita manapun di seluruh dunia ini.”

Pada dasarnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin seandainya Abul ‘Ash mencerai Zainab. Namun, apa kuasa beliau? Saat itu, Allah belum mengharamkan perkawinan wanita mukminah dengan pria musyrik. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berhak memaksa Abul ‘Ash untuk mencerai istrinya.

Ketika terjadi perang Badr, Abul ‘Ash ikut berada dalam barisan kaum musyrikin. Apa boleh buat, sekiranya ia tidak berkenan memerangi mertuanya, ia tinggal bersama musyrikin tersebut di Makkah. Itulah yang memaksanya ikut dalam barisan musuh-musuh Allah.

Maka, perang pun terjadi dengan membawa hasil berupa kekalahan telak, kehinaan, dan rasa malu yang menimpa kaum kafir Quraisy. Di antara mereka, ada yang tewas terbunuh di tangan kaum muslimin. Ada yang tertawan dan ada pula yang berhasil meloloskan diri. Adapun Abul ‘Ash, ia termasuk kelompok yang tertawan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan uang tebusan yang harus dibayar bagi setiap tawanan yang ingin bebas. Tebusan yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapkan, sebesar kedudukan dan kekayaan tawanan tersebut di kaumnya, antara seribu hingga empat ribu dirham. Maka, berdatanganlah para utusan dari Makkah dengan membawa uang untuk menebus karib kerabat mereka yang tertawan….

air-mataRasulullah pun Turut Bersedih

Zainab, belahan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang begitu dalam cintanya kepada suaminya turut pula mengirim utusan untuk menebus Abul ‘Ash bin Rabi’. Di antara uang tebusan itu, terdapat sebuah kalung Zainab yang merupakan pemberian ibundanya, Khadijah binti Khuwailid, sebagai hadiah di hari pernikahan Zainab dengan Abul ‘Ash.

Ketika Nabi kita yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kalung tersebut, tersentuhlah hati beliau. Wajah beliau berubah menjadi sedih dengan kesedihan yang mendalam. Bagaimana tidak? Kalung yang beliau lihat dulunya adalah milik istri pertamanya yang selalu mendampingi beliau dalam keadaan susah dan senang. Wanita mana yang mampu menandingi kesetiaan Khadijah di kala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dicaci-maki orang-orang kafir. Khadijahlah yang menyelimuti nabi dan menenangkan beliau ketika turun wahyu pertama kali. Dari wanita mulia inilah Nabi memperoleh anak. Maka, wajarlah jikalau muncul perasaan rindu di hati beliau.

Di sisi lain, kalung yang beliau lihat adalah kepunyaan putri yang sangat beliau sayangi. Maka, hati mana yang tidak tersentuh, apalagi dari seorang ayah kepada putri yang terpisah darinya? Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para shahabatnya, “Harta ini dikirimkan Zainab untuk menebus suaminya, Abul ‘Ash. Sekiranya tuan-tuan setuju, saya harap tuan-tuan bebaskan tawanan itu tanpa uang tebusan. Uang dan harta Zainab kirimkan kembali padanya.

Para shahabat Nabi yang mulia serta merta menyahut seruan beliau dengan berkata, “Baik ya Rasulullah! Kami setuju.”

Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun akhirnya membebaskan Abul ‘Ash ibn Rabi’ dengan memberi syarat agar ia segera mengantarkan Zainab kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setibanya di Makkah.

Benar, setibanya di Makkah, Abul ‘Ash segera memenuhi janji ayah kekasih tercintanya itu. Ia memerintah Zainab agar segera mempersiapkan diri untuk pergi ke Madinah. Abul ‘Ash pun turut menyiapkan perbekalan dan kendaraan perjalanan1untuk kepergian istrinya tersebut. Ia lalu menyuruh adiknya, ‘Amr ibn Rabi’[1], untuk mengantar Zainab dan menyerahkannya pada utusan Rasulullah yang sudah menunggu tidak jauh di luar kota Makkah.

‘Amr ibn Rabi’ menyambut perintah kakaknya itu. Serta merta ia menyandang busur dan membawa sekantong anak panah, lalu dinaikkannya Zainab ke Haudaj. Mereka pergi ke luar Makkah di tengah hari, di depan muka kaum Quraisy. Melihat hal itu, orang-orang Quraisy marah, dan berupaya menyusul keduanya, lalu mengancam dan menakut-nakuti Zainab. Mereka mendapati Amr dan Zainab di Dzi Thuwa. Salah satu dari mereka yang pertama kali mampu menyusul keduanya adalah Habbar bin Aswad bin Muthallib bin Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushayyi dan Nafi’ bin Abdul Qais Az-Zuhri (ada yang mengatakan Nafi’ bin Abdi ‘Amr).

Habbar yang datang dengan menghunus pedang sangat menggetarkan perasaan Zainab yang berada di sekedupnya. Saat itu, ia sedang hamil. Gangguan dan ancaman Habbar membuatnya jatuh terpelanting dari sekedupnya yang mengakibatkan kandungannya gugur. Ini merupakan musibah berat yang dihadapi Zainab karena gangguan mereka membuat beliau sering sakit-sakitan yang akhirnya menjadi sebab kematian beliau. Oleh karena itu, sang ayah, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada para shahabatnya,

Jika kamu sekalian bertemu Habbar bin Aswad dan Nafi’ bin Amr, bakarlah keduanya karena keduanya telah menyakiti Zainab, putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ia keluar ke Madinah hingga akhirnya ia terus sakit-sakitan sampai meninggal dunia.”

(As-Siyar II/247)

Akan tetapi, ‘Amr ibn Rabi’, dengan panah yang telah ia siapkan, berkata keras kepada orang-orang Quraisy tersebut, “Siapa mendekat, aku panah batang lehernya!”

Suasana menjadi tegang. Perkataan ‘Amr bukanlah main-main karena suku Quraisy telah mengenalnya sebagai pemanah ulung yang tidak pernah meleset bidikannya. Di tengah-tengah suasana seperti itu, berkatalah Abu Sufyan ibn Harb, “Wahai anak saudaraku, letakkan panahmu! Kami akan bicara denganmu.”

‘Amr pun meletakkan panahnya.

Abu Sufyan berkata lagi, “Perbuatanmu ini tidak betul hai ‘Amr. Engkau membawa Zainab keluar dengan terang-terangan di hadapan orang banyak dan di depan mata kami. Orang ‘Arab seluruhnya tahu akan kekalahan mereka di Badr dan musibah yang ditimpakan bapak Zainab kepada kami. Bila engkau membawa Zainab ke luar secara terang-terangan begini, berarti engkau menghina seluruh kabilah ini sebagai penakut, lemah, dan tidak berdaya. Alangkah hinanya itu!!! Oleh karena itu, bawalah Zainab kembali kepada suaminya untuk beberapa hari. Setelah penduduk tahu kami telah berhasil mencegah kepergiannya, engkau boleh membawanya diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Jangan di siang bolong seperti ini! Engkau boleh mengantarkannya kepada bapaknya. Kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa untuk menahannya.”

‘Amr menyetujui saran Abu Sufyan. Dia mengantar Zainab kembali ke rumahnya di Makkah. Selang beberapa hari kemudian, di tengah malam, ‘Amr membawa Zainab ke luar kota dengan sembunyi-sembunyi lalu meyerahkannya kepada utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tangan ke tangan, sebagaimana pesan Abul ‘Ash. Dalam Majma’ Zawaid disebutkan bahwa tatkala warga Makkah sudah tenang dan tidak lagi membicarakan perihal Zainab, Amr keluar bersama Zainab di waktu malam, lalu menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan temannya.

good-bye1Akhirnya, Abul Ash pun berpisah dengan istrinya. Dalam masa perpisahan ini, tiada satupun yang sangat Zainab harapkan selain hidayah Islam merasuk kepada kekasih yang sangat ia cintai itu. Zainab senantiasa memohon kepada Allah agar Abul Ash segera memeluk agama Islam. Perpisahan ini demikian lama, berlangsung beberapa tahun hingga menjelang Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah).


Awal Mula Pertemuan setelah Perpisahan yang Lama

Abul Ash adalah seorang pedagang dan biasa berdagang ke negeri Syam. Kegiatan perdagangan inilah yang dilakukannya setelah ia berpisah dengan wanita yang sangat dicintainya itu. Suatu ketika, menjelang terjadinya Fathu Makkah, dalam perjalanan pulang Abul Ash dari Syam ke Makkah, kafilahnya dicegat pasukan patroli Rasulullah. Ketika itu, Abul Ash membawa seratus onta yang penuh dengan muatan dan seratus tujuh pulu personil yang menggiring unta-unta tersebut. Namun, Abul Ash masih beruntung karena ia pedangberhasil lolos dari sergapan patroli Madinah. Kemudian, dengan sembunyi-sembunyi ia menyusup ke kota Madinah di kala hari telah gelap. Ia berhasil mendapati rumah Zainab, lalu minta perlindungan kepadanya. Zainab pun memberi perlindungan kepada Abul Ash.

Setelah itu, ketika Nabi hendak menunaikan shalat shubuh dan beliau sudah sudah berdiri di mihrab, lalu takbir dan takbirnya diikuti para shahabat, Zainab berteriak dengan sekuat-kuatnya dari tempat khusus wanita,

Hai manusia! Saya Zainab binti Muhammad. Abul Ash minta perlindungan kepada saya. Oleh karena itu, saya melindunginya.

Setelah Nabi usai melakasanakan shalat, Nabi berkata kepada para shahabatnya,

Apakah tuan-tuan mendengar suara Zainab?

Para shahabat menjawab, “Kami mendengarnya wahai utusan Allah

Nabi berkata lagi,

Demi الله yang jiwaku dalam genggamannya. Saya tidak tahu apa-apa tentang hal ini, kecuali setelah mendengar teriakan Zainab

Kemudian, Nabi mendatangi rumah Zainab, kemudian berkata kepada putrinya tersebut,

Hormatilah Abul ‘Ash! Akan tetaapi, ketahuilah! Engkau tidak lagi halal baginya.

Setelah itu, Nabi memanggil pasukan patroli Madinah yang telah menyergap kafilah dagang Abul Ash, lalu beliau berkata kepadaa mereka,

Sebagaimana kalian ketahui, orang ini (Abul Ash) adalah family kami. Kalian telah merampas hartanya. Jika kalian ingin berbuat baik, kembalikanlah hartanya. Itulah yang kami sukai. Akan tetapi, jika kalian enggan mengenbalikan, itu adalah hak kalian karena harta itu adalah rampasan perang dibrikan الله kepada kalian. Kalian berhak mengambilnya.

Mendengar perkataan Nabi tersebut, para shahabat justru mengatakan,

Kami kembalikan wahai ututsan Allah…”

Mengetahui para shahabat nabi ingin mengembalikan hartanya, Abul Ash mendatangi mereka untuk mengambil hartanya tersebut. Ketika Abul Ash sampai di hadapan para shahabat Nabi, para shahabat berkata,

Wahai Abul ‘Ash! Engkau adalah seorang bangsawan Quraisy. Engkau anak paman ingakan serahkan harta ini semuanya kepadanu. Engkau akan dapat menikmati harta penduduk Makkah yang Engkau bawa ini. Tinggallah bersama kami di Madinah

Kalau kita lihat sepintas, tawaran para shahabat ini demikian menguntungkan Abul Ash. Namun, lihatlah betapa tinggi dan luhur pekerti serta kemormatan Abul Ash dalam sikap Abul Ash berikut ini:

Abul Ash menolak tawaran para shahabat seraya berkata,

Usul kalian sangat jelak dan tidak pantas. Aku harus membayar hutang-hutangku segera

Lalu, Abu ‘Ash membawa kembali harta bendanya menuju Makkah. kemudian, begitu ia sampai di Makkah, ia segera memabayarkan hutang-hutangnya kepada setiap yang berhak menerimanya. Setelah itu, ia bekata kepada penduduk Makkah,

Hai kaum Quraisy! Masih adakah yang belum menerima pembayaran dariku?

Penduduk Makkah serta merta menjawab seruan itu,

Tidak! Semoga الله membalasmu dengan yang lebih baik. Kami telah menerima pembayaran darimu secukupnya.

Abul ‘Ash lalu berkata,

Sekarang ketahuilah, aku telah aku telah membyar hak kamu masing-masing secukupnya. Maka, kini dengarkan! Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang disembah kecuali الله dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah jabat-tanganutusan الله . Demi الله, tidak ada yang menghalangiku untuk menyatakan Islam kepada Muhammad ketika aku berada di Madinah, kecuali kekhawatiranku kalau kalian menyangka, aku masuk Islam karena hendak memakan harta kalian. Kini, setelah الله membayarnya kepada kamu sekalian dan tanggung jawabku telah selesai, aku menyatakan masuk Islam.

Setelah itu, Abul ‘Ash keluar dari Makkah untuk menemui Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah pun menerima dan menyambut kedatangannya, serta menyerahkan kembali istrinya, Zainab ke dalam naungannya.

bunga-cinta

Di antara kemuliaan Abul Ash adalah apa yang disabdakan Nabi Muhammad berikut ini,

Dia berbicara kepadaku, aku mempercayainya. Dia berjanji kepadaku, dia memenuhi janjinya.

Namun, kebahagiaan Abul ‘Ash dalam merasakan kesejukan sang istri tercinta setelah waktu perpisahan yang begitu panjang tidaklah berlangsung lama. Ia dapati lagi perpisahan berikutnya yang tidak mungkin lagi datang pertemuan berikutnya. Perpisahan itu ialah kepergian Zainab meninggalkan dunia ini, tepatnya pada tahun 8 hijriah.kuburan-baqi

——————————————————-

CATATAN: Harap pembaca jangan mengopy artikel ini terlebih dahulu. Qaddarullah, sebelum artikel ini diupload, beberapa referensi kitab yang sudah penulis susun dalam risalah khusus, HILANG. Padahal, penulis berupaya menukilkan beberapa teks-teks Arab yang merupakan sabda Nabi, pembicaraan tokoh-tokoh (Abul Ash, Zainab, dan orang-orang Quraisy) beserta sumbernya agar pembaca dapat merujuknya langsung pada kitab aslinya. Oleh karena itu, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila penulis belum mencantumkan kitab-kitab rujukan. Penulis akan menyusunnya kembali atau mencari lagi risalah yang hilang tersebut lalu diupload lagi dalam bentuk ARTIKEL REVISI. Artikel yang belum direvisi ini sengaja penulis upload agar pemaca yang kiranya menemukan kesalahan dalam artikel ini, dapat ikut mengeditnya atau menambahkan dari referensi lain yang pembaca dapatkan.


[1] Dalam referensi yang lain, penulis dapati bahwa saudara Abul ‘Ash yang mengantar Zainab adalah Kinanah bin Rabi’. Insya Allah, penulis akan mengeceknya kembali dalam kitab biografi shahabat di Ushudul Ghabah atau Al-Ishobah. Dan mana yang benar antara Kinanah atau Amr, akan penulis sampaikan dalam artikel revisi. Bagi pembaca yang telah mengetahui mana yang benar dari di antara kedua nama tersebut, harap segera menyampaikannya kepada penulis.

Senin, 23 Februari 2009

Janji Bertemu di Surga

1919055l.jpg
Al-Mubarrid menyebutkan dari Abu Kamil dari Ishaq bin Ibrahim dari Raja’ bin Amr An-Nakha’i, ia berkata: ”Adalah di Kufah terdapat pemuda tampan, dia kuat beribadah dan sangat rajin. Suatu saat dia mampir berkunjung ke kampung dari Bani Na-Nakha’. Dia melihat seorang wanita cantik dari mereka sehingga dia jatuh cinta dan kasmaran. Dan ternyata, si wanita cantik ini pun begitu juga padanya. Karena sudah jatuh cinta, akhirnya pemuda itu mengutus seseorang melamarnya dari ayahnya. Tetapi si ayah mengabarkan bahwa putrinya telah dijodohkan dengan sepupunya.

Walau demikian, cinta keduanya tak bisa padam bahkan semakin berkobar.Si wanita -akhirnya- mengirim pesan lewat seorang untuk si pemuda, bunyinya, ‘Aku telah tahu betapa besar cintamu kepadaku, dan betapa besar pula aku diuji dengan kamu.

Bila kamu setuju, aku akan mengunjungimu atau aku akan mempermudah jalan bagimu untuk datang menemuiku di rumahku’. Dijawab oleh pemuda tadi melalui orang suruhannya, ‘Aku tidak setuju dengan dua alternatif itu:”Sesungguhnya aku merasa takut bila aku berbuat maksiat pada Rabbku akan adzab yang akan menimpaku pada hari yang besar.” (Yunus: 15)Aku takut pada api yang tidak pernah mengecil nyalanya dan tidak pernah padam kobarannya.’Ketika disampaikan pesan tadi kepada si wanita, dia berkata: ”Walau demikian, rupanya dia masih takut kepada Allah? Demi Allah, tak ada seseorang yang lebih berhak untuk bertakwa kepada Allah dari orang lain. Semua hamba sama-sama berhak untuk itu.” Kemudian dia meninggalkan urusan dunia dan menyingkirkan perbuatan-perbuatan buruknya serta mulai beribadah mendekatkan diri kepada Allah.

Akan tetapi, dia masih menyimpan perasaan cinta dan rindu kepada sang pemuda. Tubuhnya mulai kurus dan kurus menahan perasaan rindunya, sampai akhirnya dia meninggal dunia karenanya.

Dan si pemuda itu seringkali berziarah ke kuburannya, dia menangis dan mendo’akannya. Suatu waktu dia tertidur di atas kuburannya. Dia bermimpi berjumpa dengan kekasihnya dengan penampilan yang sangat baik. Dalam mimpi dia sempat bertanya: ”Bagaimana keadaanmu? Dan apa yang kau dapatkan setelah meninggal?”Dia menjawab: ”Sebaik-baik cinta - wahai orang yang bertanya - adalah cintamu. Sebuah cinta yang dapat menggiring menuju kebaikan”.Pemuda itu bertanya: ”Jika demikian, kemanakah kau menuju?”Dia jawab: ”Aku sekarang menuju pada kenikmatan dan kehidupan yang tak berakhir. Di Surga kekekalan yang dapat kumiliki dan tidak akan pernah rusak.”Pemuda itu berkata: ”Aku harap kau selalu ingat padaku di
sana, sebab aku di sini juga tidak melupakanmu.” Dia jawab: ”Demi Allah, aku juga tidak melupakanmu. Dan aku minta kepada Tuhanku dan Tuhanmu (Allah subhanahu wa ta’ala) agar kita nanti bisa dikumpulkan. Maka, bantulah aku dalam hal ini dengan kesungguhanmu dalam ibadah.”Si Pemuda bertanya: ”Kapan aku bisa melihatmu?” Jawab si wanita: ”Tak lama lagi kau akan datang melihat kami.” Tujuh hari setelah mimpi itu berlalu, si pemuda dipanggil oleh Allah menuju kehadirat-Nya, meninggal dunia.

(Disadur dari: www.jilbab.or.id - Sumber: Kisah-Kisah Nyata Tentang Nabi, Rasul, Sahabat, Tabi’in, Orang-orang Dulu dan Sekarang,
Syaikh Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi, Darul Haq)


Suara Lirih Sang Pecinta Sejati


Menurut Rabi’ah, cinta kepada Allah adalah cinta yang tulus tanpa pretensi. Malah, seandainya beribadah mengharapkan surga, itu bentuk penyelewengan cinta.


Nama Rabi’ah sudah tidak asing lagi di kalangan dunia tasawuf. Ia adalah tokoh yang selalu selalu mengusung pemurnian cinta kepada Allah. Menurutnya, tidak semestinya manusia beribadah dan beramal Cuma karena surga dan neraka. Surga dan neraka hanyalah konsekuensi logis ketaatan dan ketulusan hampa dalam mengabdi kepada Allah, Pencipta Alam.


Kalaulah surga dan neraka yang terpikirkan seoran ghama ketika beribadah, berarti dia telah menuhankan keduanya. Padahal surga dan neraga juga ciptaan Allah, tidak berbeda juga dengan ciptaan-ciptaan lainnya. Menurut Rabi’ah, bagi seorang yang beriman, yang paling penting adalah cinta Allah, ridha Allah. Allah-lah satu-satunya Pusat dan Tujuan setiap pikiran, perbuatan, dan aktivitasnya. Tiada yang lain.

Nama lengkapnya Rabi’ah binti Ismail Al-Adawiyah al-Basriyah. Ia lahir tahun 95 H/713 M, di suatu perkampungan di luar kota Basrah, Irak.


Rabi’ah Al-Adawiyah adalah putrid keempat dari sebuah keluarga miskin. Dan karena putrid yagn keempat, dia diberi nama Rabi’ah. Kedua orangtuanya wafat ketika I amasih berusia kanak-kanak. Pada saat itu terjadi kelaparan di kota Basrah, makanan sulit didapat, persediaan gandum sudah tidak ada. Warga Basrah saat itu sungguh sangat nelangsa. Rabi’ah dilarikan oelh penjahat lalu dijual kepada suatu keluarga dengan harga enam dirham.

Keluarga yagn membelinya tertarik dengan ketekunan dan perilaku Rabi’ah, lalu mengajarinya dasar-dasar agama. Ini jadi bekal yang berharga bagi Rabi’ah. Pada keluarga itulah ia bekerja keras. Tapi bekat keshalihan dan ketekunannya beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT, serta munculnya keajaiban-keajaiban di sekitar dirinya, keluarga tersebut merasa terpanggil untuk membebaskannya.


Setelah bebas, ia memusatkan perhatian pada kegiatan beribadah, sambil belajar dan menuntut ilmu kepada banyak guru yagn tidak diceritakan siapa nama-nama gurunya itu.


Rabi’ah pada mulanya tinggal di suatu dusun, tapi kemudian tinggal di kota Basrah, dan sebagian besar kehidupannya memiliki majelis taklim yang dikunjungi banyak muridnya. Majelisnya juga sering dikunjungi zahid-zahid lain untuk keperluan bertukar pikiran dengan sufi wanita itu. Di antara mereka yang pernah mengunjunginya adalah Malik bin Dinar, Sofyan As-Tsauri, dan Syaqiq Al-Bakhi.


Rabi’ah Al-Adawiyah terkenal zahid dan tak penah mau meminta pertolongan kepada orang lain. Ketika ditanya orang mengapa ia tidak mau meminta pertolongan kepada orang lain, ia menjawab, “Saya mau meminta sesuatu kepada Allah, yang memilikinya, apalagi kepada orang-orang yang bukan pemilik sesuatu itu. Sesungguhnya Allah-lah ang memberi rezeki kepadaku dan kepada mereka yang kaya…Kita harus menaydari posisi kita sebagai hamba-Nya, dan haruslah kita menerimanya dengan hati senang (ridha-Red.).”


Berbeda dari para zahid atau sufi yang mendahuluinya atau yang sezaman dengannya, dalam menjalankan tasawuf itu dasarnya bukanlah karena dikuasai oleh perasaan takut kepada Allah atau taku kepada neraka-Nya. Hatinya ternyata penuh oleh perasaan cinta dan asyik masyuk dengan Allah sebagai Kekasih-Nya.


Bagaimana gelora cintanya kepada Tuhan tergambar dalam sejumlah ungkapannya. “Aku mengabdi kepada Allah bukan takut kepada neraka, bukan pula ingin masuk ke dalam surga, tapi aku beribadah karena cintaku kepada Allah.”


Tuhanku, jika aku mengabdi kepada-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalamnya; dan jika aku mengabdi kepada-Mu karena mengaharapkan surga, jauhkanlah aku daripadanya. Tetapi jika Kau aku puja semata-mata karena Kau, janganlah Kau sembunyikan kecantikan-Mu yang kekeal dariku.


Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan, orang-orang telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci, dan tiap kekasih telah menyendiri dengan kekasihnya, dan inilah aku di hadirat-Mu”


Sewaktu fajar telah menyingsing, Rabi’ah berujar menguraikan isi hatinya yang sedang rindu kepada-Nya. “Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri. Aku gelisah, apakah amalanku Kau terima hingga aku merasa bahagia, ataukah Kau tolak hingga aku merasa sedih. Demi kemuliaan-Mu, inilah yang akan aku lakukan selama Kau beri hat. Sekiranya Kau usir dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena cinta pada-Mu telah memenuhi hatiku.


Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah, keadaanku senantiasa mengingat-Mu; dan cinta karena diri-Mu adalah, keadaan diri-Mu menyingkapkan tabir hingga Kau kulihat…Pujian bukanlah bagiku, tapi bagi-Mu-lah pujian untuk semuanya.


WAhai Kekasih Hati, hanya Kau-lah yang aku cintai. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaan, dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain diri-Mu.”


Rabi’ah merupakan tonggak penting perkembangan tasawuf yang pada awalnya didominasi emosi menuju fase pengembangan emosi cinta yang maksimal kepada Allah.


Sumber-sumber tasawuf juga memberikan cukpu banyak catatan yagn menggambarkan peristiwa-peristiwa keramat yang terjadi pada diri Rabi’ah. Disebutkan, antara lain, pada suatu hari ia dikerumuni kawanan rusa, kambing hutan, dan keledai liar. Tapi ketika zahid lain menghampiri sufi wanita itu, kawanan binatang yang tadi berkerumun langsung bubar.


Ketika akan wafat, dia menyuruh para kerabatnya yang sedang mengerumuninya untuk keluar ruangan. “Keluarlah, berilah ruang untk para utusan Tuhan.” Ketika mereka keluar dan menutup pintu, kedengaran oleh mereka suara Rabi’ah yang mengucapkan syahadat. Lau terdengan pula suara jawaban. “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dan masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS 89:27-30), yang dibacakan oleh para malaikat penjemput ruhnya.


Rabi’ah berkata, bagi segala sesuatu ada buahnya, dan buah pengetahuan tentang Tuhan adalah orientasi diri kepada Tuhan di setiap saat. Seorang sufi lain, Muhammad bin Wasi, datang menemui Rabi’ah. Ketika ditemui, ia terhuyung-huyung seperti orang mabuk. “Mengapa engkau terhuyung-huyung?” Tanya sufi itu.

Rabi’ah menjawab, “Tadi malam aku mabuk oleh cinta kepada Tuhanku hingga aku bangun dalam keadaan mabuk karenanya.


Menurutnya, cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk mendekati Allah adalah , dia harus tahu, tidak boleh mencintai apapun di dunia ini atau di akhirat nanti selain Allah.


Rabi’ah wafat pada tahun 185 H/801 M dalam usia 88 tahun.(majalah Al Kisah, Sept.2006)


"Beliau adalah tokoh Islam yang sangat aku kagumi, aku mencintainya seperti cintanya pada Allah, dan semoga Allah membalas cintaku ini sebagaimana Aku mencintai-Nya"