Senin, 23 Februari 2009



Suara Lirih Sang Pecinta Sejati


Menurut Rabi’ah, cinta kepada Allah adalah cinta yang tulus tanpa pretensi. Malah, seandainya beribadah mengharapkan surga, itu bentuk penyelewengan cinta.


Nama Rabi’ah sudah tidak asing lagi di kalangan dunia tasawuf. Ia adalah tokoh yang selalu selalu mengusung pemurnian cinta kepada Allah. Menurutnya, tidak semestinya manusia beribadah dan beramal Cuma karena surga dan neraka. Surga dan neraka hanyalah konsekuensi logis ketaatan dan ketulusan hampa dalam mengabdi kepada Allah, Pencipta Alam.


Kalaulah surga dan neraka yang terpikirkan seoran ghama ketika beribadah, berarti dia telah menuhankan keduanya. Padahal surga dan neraga juga ciptaan Allah, tidak berbeda juga dengan ciptaan-ciptaan lainnya. Menurut Rabi’ah, bagi seorang yang beriman, yang paling penting adalah cinta Allah, ridha Allah. Allah-lah satu-satunya Pusat dan Tujuan setiap pikiran, perbuatan, dan aktivitasnya. Tiada yang lain.

Nama lengkapnya Rabi’ah binti Ismail Al-Adawiyah al-Basriyah. Ia lahir tahun 95 H/713 M, di suatu perkampungan di luar kota Basrah, Irak.


Rabi’ah Al-Adawiyah adalah putrid keempat dari sebuah keluarga miskin. Dan karena putrid yagn keempat, dia diberi nama Rabi’ah. Kedua orangtuanya wafat ketika I amasih berusia kanak-kanak. Pada saat itu terjadi kelaparan di kota Basrah, makanan sulit didapat, persediaan gandum sudah tidak ada. Warga Basrah saat itu sungguh sangat nelangsa. Rabi’ah dilarikan oelh penjahat lalu dijual kepada suatu keluarga dengan harga enam dirham.

Keluarga yagn membelinya tertarik dengan ketekunan dan perilaku Rabi’ah, lalu mengajarinya dasar-dasar agama. Ini jadi bekal yang berharga bagi Rabi’ah. Pada keluarga itulah ia bekerja keras. Tapi bekat keshalihan dan ketekunannya beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT, serta munculnya keajaiban-keajaiban di sekitar dirinya, keluarga tersebut merasa terpanggil untuk membebaskannya.


Setelah bebas, ia memusatkan perhatian pada kegiatan beribadah, sambil belajar dan menuntut ilmu kepada banyak guru yagn tidak diceritakan siapa nama-nama gurunya itu.


Rabi’ah pada mulanya tinggal di suatu dusun, tapi kemudian tinggal di kota Basrah, dan sebagian besar kehidupannya memiliki majelis taklim yang dikunjungi banyak muridnya. Majelisnya juga sering dikunjungi zahid-zahid lain untuk keperluan bertukar pikiran dengan sufi wanita itu. Di antara mereka yang pernah mengunjunginya adalah Malik bin Dinar, Sofyan As-Tsauri, dan Syaqiq Al-Bakhi.


Rabi’ah Al-Adawiyah terkenal zahid dan tak penah mau meminta pertolongan kepada orang lain. Ketika ditanya orang mengapa ia tidak mau meminta pertolongan kepada orang lain, ia menjawab, “Saya mau meminta sesuatu kepada Allah, yang memilikinya, apalagi kepada orang-orang yang bukan pemilik sesuatu itu. Sesungguhnya Allah-lah ang memberi rezeki kepadaku dan kepada mereka yang kaya…Kita harus menaydari posisi kita sebagai hamba-Nya, dan haruslah kita menerimanya dengan hati senang (ridha-Red.).”


Berbeda dari para zahid atau sufi yang mendahuluinya atau yang sezaman dengannya, dalam menjalankan tasawuf itu dasarnya bukanlah karena dikuasai oleh perasaan takut kepada Allah atau taku kepada neraka-Nya. Hatinya ternyata penuh oleh perasaan cinta dan asyik masyuk dengan Allah sebagai Kekasih-Nya.


Bagaimana gelora cintanya kepada Tuhan tergambar dalam sejumlah ungkapannya. “Aku mengabdi kepada Allah bukan takut kepada neraka, bukan pula ingin masuk ke dalam surga, tapi aku beribadah karena cintaku kepada Allah.”


Tuhanku, jika aku mengabdi kepada-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalamnya; dan jika aku mengabdi kepada-Mu karena mengaharapkan surga, jauhkanlah aku daripadanya. Tetapi jika Kau aku puja semata-mata karena Kau, janganlah Kau sembunyikan kecantikan-Mu yang kekeal dariku.


Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan, orang-orang telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci, dan tiap kekasih telah menyendiri dengan kekasihnya, dan inilah aku di hadirat-Mu”


Sewaktu fajar telah menyingsing, Rabi’ah berujar menguraikan isi hatinya yang sedang rindu kepada-Nya. “Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri. Aku gelisah, apakah amalanku Kau terima hingga aku merasa bahagia, ataukah Kau tolak hingga aku merasa sedih. Demi kemuliaan-Mu, inilah yang akan aku lakukan selama Kau beri hat. Sekiranya Kau usir dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena cinta pada-Mu telah memenuhi hatiku.


Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah, keadaanku senantiasa mengingat-Mu; dan cinta karena diri-Mu adalah, keadaan diri-Mu menyingkapkan tabir hingga Kau kulihat…Pujian bukanlah bagiku, tapi bagi-Mu-lah pujian untuk semuanya.


WAhai Kekasih Hati, hanya Kau-lah yang aku cintai. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaan, dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain diri-Mu.”


Rabi’ah merupakan tonggak penting perkembangan tasawuf yang pada awalnya didominasi emosi menuju fase pengembangan emosi cinta yang maksimal kepada Allah.


Sumber-sumber tasawuf juga memberikan cukpu banyak catatan yagn menggambarkan peristiwa-peristiwa keramat yang terjadi pada diri Rabi’ah. Disebutkan, antara lain, pada suatu hari ia dikerumuni kawanan rusa, kambing hutan, dan keledai liar. Tapi ketika zahid lain menghampiri sufi wanita itu, kawanan binatang yang tadi berkerumun langsung bubar.


Ketika akan wafat, dia menyuruh para kerabatnya yang sedang mengerumuninya untuk keluar ruangan. “Keluarlah, berilah ruang untk para utusan Tuhan.” Ketika mereka keluar dan menutup pintu, kedengaran oleh mereka suara Rabi’ah yang mengucapkan syahadat. Lau terdengan pula suara jawaban. “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dan masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS 89:27-30), yang dibacakan oleh para malaikat penjemput ruhnya.


Rabi’ah berkata, bagi segala sesuatu ada buahnya, dan buah pengetahuan tentang Tuhan adalah orientasi diri kepada Tuhan di setiap saat. Seorang sufi lain, Muhammad bin Wasi, datang menemui Rabi’ah. Ketika ditemui, ia terhuyung-huyung seperti orang mabuk. “Mengapa engkau terhuyung-huyung?” Tanya sufi itu.

Rabi’ah menjawab, “Tadi malam aku mabuk oleh cinta kepada Tuhanku hingga aku bangun dalam keadaan mabuk karenanya.


Menurutnya, cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk mendekati Allah adalah , dia harus tahu, tidak boleh mencintai apapun di dunia ini atau di akhirat nanti selain Allah.


Rabi’ah wafat pada tahun 185 H/801 M dalam usia 88 tahun.(majalah Al Kisah, Sept.2006)


"Beliau adalah tokoh Islam yang sangat aku kagumi, aku mencintainya seperti cintanya pada Allah, dan semoga Allah membalas cintaku ini sebagaimana Aku mencintai-Nya"

Tidak ada komentar: