Senin, 23 Februari 2009

Janji Bertemu di Surga

1919055l.jpg
Al-Mubarrid menyebutkan dari Abu Kamil dari Ishaq bin Ibrahim dari Raja’ bin Amr An-Nakha’i, ia berkata: ”Adalah di Kufah terdapat pemuda tampan, dia kuat beribadah dan sangat rajin. Suatu saat dia mampir berkunjung ke kampung dari Bani Na-Nakha’. Dia melihat seorang wanita cantik dari mereka sehingga dia jatuh cinta dan kasmaran. Dan ternyata, si wanita cantik ini pun begitu juga padanya. Karena sudah jatuh cinta, akhirnya pemuda itu mengutus seseorang melamarnya dari ayahnya. Tetapi si ayah mengabarkan bahwa putrinya telah dijodohkan dengan sepupunya.

Walau demikian, cinta keduanya tak bisa padam bahkan semakin berkobar.Si wanita -akhirnya- mengirim pesan lewat seorang untuk si pemuda, bunyinya, ‘Aku telah tahu betapa besar cintamu kepadaku, dan betapa besar pula aku diuji dengan kamu.

Bila kamu setuju, aku akan mengunjungimu atau aku akan mempermudah jalan bagimu untuk datang menemuiku di rumahku’. Dijawab oleh pemuda tadi melalui orang suruhannya, ‘Aku tidak setuju dengan dua alternatif itu:”Sesungguhnya aku merasa takut bila aku berbuat maksiat pada Rabbku akan adzab yang akan menimpaku pada hari yang besar.” (Yunus: 15)Aku takut pada api yang tidak pernah mengecil nyalanya dan tidak pernah padam kobarannya.’Ketika disampaikan pesan tadi kepada si wanita, dia berkata: ”Walau demikian, rupanya dia masih takut kepada Allah? Demi Allah, tak ada seseorang yang lebih berhak untuk bertakwa kepada Allah dari orang lain. Semua hamba sama-sama berhak untuk itu.” Kemudian dia meninggalkan urusan dunia dan menyingkirkan perbuatan-perbuatan buruknya serta mulai beribadah mendekatkan diri kepada Allah.

Akan tetapi, dia masih menyimpan perasaan cinta dan rindu kepada sang pemuda. Tubuhnya mulai kurus dan kurus menahan perasaan rindunya, sampai akhirnya dia meninggal dunia karenanya.

Dan si pemuda itu seringkali berziarah ke kuburannya, dia menangis dan mendo’akannya. Suatu waktu dia tertidur di atas kuburannya. Dia bermimpi berjumpa dengan kekasihnya dengan penampilan yang sangat baik. Dalam mimpi dia sempat bertanya: ”Bagaimana keadaanmu? Dan apa yang kau dapatkan setelah meninggal?”Dia menjawab: ”Sebaik-baik cinta - wahai orang yang bertanya - adalah cintamu. Sebuah cinta yang dapat menggiring menuju kebaikan”.Pemuda itu bertanya: ”Jika demikian, kemanakah kau menuju?”Dia jawab: ”Aku sekarang menuju pada kenikmatan dan kehidupan yang tak berakhir. Di Surga kekekalan yang dapat kumiliki dan tidak akan pernah rusak.”Pemuda itu berkata: ”Aku harap kau selalu ingat padaku di
sana, sebab aku di sini juga tidak melupakanmu.” Dia jawab: ”Demi Allah, aku juga tidak melupakanmu. Dan aku minta kepada Tuhanku dan Tuhanmu (Allah subhanahu wa ta’ala) agar kita nanti bisa dikumpulkan. Maka, bantulah aku dalam hal ini dengan kesungguhanmu dalam ibadah.”Si Pemuda bertanya: ”Kapan aku bisa melihatmu?” Jawab si wanita: ”Tak lama lagi kau akan datang melihat kami.” Tujuh hari setelah mimpi itu berlalu, si pemuda dipanggil oleh Allah menuju kehadirat-Nya, meninggal dunia.

(Disadur dari: www.jilbab.or.id - Sumber: Kisah-Kisah Nyata Tentang Nabi, Rasul, Sahabat, Tabi’in, Orang-orang Dulu dan Sekarang,
Syaikh Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi, Darul Haq)


Suara Lirih Sang Pecinta Sejati


Menurut Rabi’ah, cinta kepada Allah adalah cinta yang tulus tanpa pretensi. Malah, seandainya beribadah mengharapkan surga, itu bentuk penyelewengan cinta.


Nama Rabi’ah sudah tidak asing lagi di kalangan dunia tasawuf. Ia adalah tokoh yang selalu selalu mengusung pemurnian cinta kepada Allah. Menurutnya, tidak semestinya manusia beribadah dan beramal Cuma karena surga dan neraka. Surga dan neraka hanyalah konsekuensi logis ketaatan dan ketulusan hampa dalam mengabdi kepada Allah, Pencipta Alam.


Kalaulah surga dan neraka yang terpikirkan seoran ghama ketika beribadah, berarti dia telah menuhankan keduanya. Padahal surga dan neraga juga ciptaan Allah, tidak berbeda juga dengan ciptaan-ciptaan lainnya. Menurut Rabi’ah, bagi seorang yang beriman, yang paling penting adalah cinta Allah, ridha Allah. Allah-lah satu-satunya Pusat dan Tujuan setiap pikiran, perbuatan, dan aktivitasnya. Tiada yang lain.

Nama lengkapnya Rabi’ah binti Ismail Al-Adawiyah al-Basriyah. Ia lahir tahun 95 H/713 M, di suatu perkampungan di luar kota Basrah, Irak.


Rabi’ah Al-Adawiyah adalah putrid keempat dari sebuah keluarga miskin. Dan karena putrid yagn keempat, dia diberi nama Rabi’ah. Kedua orangtuanya wafat ketika I amasih berusia kanak-kanak. Pada saat itu terjadi kelaparan di kota Basrah, makanan sulit didapat, persediaan gandum sudah tidak ada. Warga Basrah saat itu sungguh sangat nelangsa. Rabi’ah dilarikan oelh penjahat lalu dijual kepada suatu keluarga dengan harga enam dirham.

Keluarga yagn membelinya tertarik dengan ketekunan dan perilaku Rabi’ah, lalu mengajarinya dasar-dasar agama. Ini jadi bekal yang berharga bagi Rabi’ah. Pada keluarga itulah ia bekerja keras. Tapi bekat keshalihan dan ketekunannya beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT, serta munculnya keajaiban-keajaiban di sekitar dirinya, keluarga tersebut merasa terpanggil untuk membebaskannya.


Setelah bebas, ia memusatkan perhatian pada kegiatan beribadah, sambil belajar dan menuntut ilmu kepada banyak guru yagn tidak diceritakan siapa nama-nama gurunya itu.


Rabi’ah pada mulanya tinggal di suatu dusun, tapi kemudian tinggal di kota Basrah, dan sebagian besar kehidupannya memiliki majelis taklim yang dikunjungi banyak muridnya. Majelisnya juga sering dikunjungi zahid-zahid lain untuk keperluan bertukar pikiran dengan sufi wanita itu. Di antara mereka yang pernah mengunjunginya adalah Malik bin Dinar, Sofyan As-Tsauri, dan Syaqiq Al-Bakhi.


Rabi’ah Al-Adawiyah terkenal zahid dan tak penah mau meminta pertolongan kepada orang lain. Ketika ditanya orang mengapa ia tidak mau meminta pertolongan kepada orang lain, ia menjawab, “Saya mau meminta sesuatu kepada Allah, yang memilikinya, apalagi kepada orang-orang yang bukan pemilik sesuatu itu. Sesungguhnya Allah-lah ang memberi rezeki kepadaku dan kepada mereka yang kaya…Kita harus menaydari posisi kita sebagai hamba-Nya, dan haruslah kita menerimanya dengan hati senang (ridha-Red.).”


Berbeda dari para zahid atau sufi yang mendahuluinya atau yang sezaman dengannya, dalam menjalankan tasawuf itu dasarnya bukanlah karena dikuasai oleh perasaan takut kepada Allah atau taku kepada neraka-Nya. Hatinya ternyata penuh oleh perasaan cinta dan asyik masyuk dengan Allah sebagai Kekasih-Nya.


Bagaimana gelora cintanya kepada Tuhan tergambar dalam sejumlah ungkapannya. “Aku mengabdi kepada Allah bukan takut kepada neraka, bukan pula ingin masuk ke dalam surga, tapi aku beribadah karena cintaku kepada Allah.”


Tuhanku, jika aku mengabdi kepada-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalamnya; dan jika aku mengabdi kepada-Mu karena mengaharapkan surga, jauhkanlah aku daripadanya. Tetapi jika Kau aku puja semata-mata karena Kau, janganlah Kau sembunyikan kecantikan-Mu yang kekeal dariku.


Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan, orang-orang telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci, dan tiap kekasih telah menyendiri dengan kekasihnya, dan inilah aku di hadirat-Mu”


Sewaktu fajar telah menyingsing, Rabi’ah berujar menguraikan isi hatinya yang sedang rindu kepada-Nya. “Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri. Aku gelisah, apakah amalanku Kau terima hingga aku merasa bahagia, ataukah Kau tolak hingga aku merasa sedih. Demi kemuliaan-Mu, inilah yang akan aku lakukan selama Kau beri hat. Sekiranya Kau usir dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena cinta pada-Mu telah memenuhi hatiku.


Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah, keadaanku senantiasa mengingat-Mu; dan cinta karena diri-Mu adalah, keadaan diri-Mu menyingkapkan tabir hingga Kau kulihat…Pujian bukanlah bagiku, tapi bagi-Mu-lah pujian untuk semuanya.


WAhai Kekasih Hati, hanya Kau-lah yang aku cintai. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaan, dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain diri-Mu.”


Rabi’ah merupakan tonggak penting perkembangan tasawuf yang pada awalnya didominasi emosi menuju fase pengembangan emosi cinta yang maksimal kepada Allah.


Sumber-sumber tasawuf juga memberikan cukpu banyak catatan yagn menggambarkan peristiwa-peristiwa keramat yang terjadi pada diri Rabi’ah. Disebutkan, antara lain, pada suatu hari ia dikerumuni kawanan rusa, kambing hutan, dan keledai liar. Tapi ketika zahid lain menghampiri sufi wanita itu, kawanan binatang yang tadi berkerumun langsung bubar.


Ketika akan wafat, dia menyuruh para kerabatnya yang sedang mengerumuninya untuk keluar ruangan. “Keluarlah, berilah ruang untk para utusan Tuhan.” Ketika mereka keluar dan menutup pintu, kedengaran oleh mereka suara Rabi’ah yang mengucapkan syahadat. Lau terdengan pula suara jawaban. “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dan masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS 89:27-30), yang dibacakan oleh para malaikat penjemput ruhnya.


Rabi’ah berkata, bagi segala sesuatu ada buahnya, dan buah pengetahuan tentang Tuhan adalah orientasi diri kepada Tuhan di setiap saat. Seorang sufi lain, Muhammad bin Wasi, datang menemui Rabi’ah. Ketika ditemui, ia terhuyung-huyung seperti orang mabuk. “Mengapa engkau terhuyung-huyung?” Tanya sufi itu.

Rabi’ah menjawab, “Tadi malam aku mabuk oleh cinta kepada Tuhanku hingga aku bangun dalam keadaan mabuk karenanya.


Menurutnya, cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk mendekati Allah adalah , dia harus tahu, tidak boleh mencintai apapun di dunia ini atau di akhirat nanti selain Allah.


Rabi’ah wafat pada tahun 185 H/801 M dalam usia 88 tahun.(majalah Al Kisah, Sept.2006)


"Beliau adalah tokoh Islam yang sangat aku kagumi, aku mencintainya seperti cintanya pada Allah, dan semoga Allah membalas cintaku ini sebagaimana Aku mencintai-Nya"